makalah tentang pelarangan riba dalam islam hampir semuanya tercantum pada makalah ini ,,,
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Muamalah
ribawiyah sesungguhnya telah dikenal di kalangan bangsa-bangsa kuno, seperti
bangsa Mesir kuno, bangsa Yunani, bangsa Romawi dan bangsa Yahudi. Di kalangan
bangsa Mesir kuno, terdapat dalam Undang-Undang Raja Bukhares, keluarga ke-24
dari raja-raja zaman Fir’aun, yang menentukan bahwa besarnya riba tidak boleh
melebihi besarnya pokok harta yang dipinjamkan, bagaimanapun panjangnya jangka
waktu pinjaman.
Di
kalangan bangsa-bangsa Yunani dan Romawi, riba merupakan kebiasaan yang merata,
dan besarnya tidak terbatas, tergantung kepada keinginan orang yang meminjamkan
uang. Bahkan, di kalangan bangsa Romawi, orang yang meminjamkan uang berhak
memperbudak orang yang berutang, bila ia tidak dapat memenuhi utangnya. Tetapi,
kebiasaan tersebut kemudian dibatalkan oleh Undang-Undang Solon yang membatasi
besarnya riba maksimum 12% dari pokok utang. Raja Justinian memberikan batas
maksimum besarnya riba sekitar 12% untuk para pedagang dan sesamanya, sedang
bagi para bangsawan hanya 4%. Filsuf-filsuf Yunani yang menentang riba ialah
Plato dan Aristoteles.
Di
kalangan bangsa Yahudi, terdapat syariat Nabi Musa as yang melarang mereka
memungut riba atas piutang yang mereka berikan kepada orang-orang miskin.
Larangan tersebut berlaku juga bila mereka memberikan pinjaman kepada
orang-orang tidak sebangsa. Tetapi, ketentuan ini kemudian mereka ubah,
larangan memungut riba hanya mereka laksanakan di kalangan sesama bangsa
Yahudi; bila terdapat orang-orang miskin yang memerlukan pertolongan pinjaman
uang harus mereka berikan, guna melonggarkan kesempitan-kesempitan hidup yang
dialami oleh saudaranya sesama bangsa Yahudi. Dalam sejarah berikutnya, setelah
perdagangan makin meluas, pasaran mereka pun ramai, maka berlakulah kebiasaan
utang-piutang dengan memakai riba dan jaminan barang (gadai).
B.
Rumusan Masalah
a)
Jelaskan
definisi dari riba?
b)
Jelaskan
hukum riba dalam Islam?
c)
Apa
saja penyebab haramnya riba?
d)
Sebutkan
dan jelaskan macam-macam riba?
e)
Bagaimana
cara menghidari riba?
f)
Apa
saja dampak riba terhadap ekonomi?
C.
Tujuan
a)
Untuk
mengetahui pengertian riba.
b)
Untuk
mengetahui hukum riba dalam pandangan agama Islam.
c)
Untuk
mengetahui hal-hal yang membuat haramnya riba.
d)
Untuk
mengetahui macam-macam riba.
e)
Untuk
mengetahui cara yang harus dilakukan untuk menghindari riba.
f)
Untuk
mengetahui dampak riba terhadap ekonomi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Riba
Secara
etimologis (bahasa), riba berarti tambahan (ziyâdah)
atau berarti tumbuh dan membesar. Secara bahasa, riba
memiliki beberapa pengertian, yaitu sebagai berikut :
1. Tambahan, karena salah satu perbuatan
riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dituangkan. Tambahan disini ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu
sedikit maupun banyak.
2. Berkembang, berbunga, karena salah satu
perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan
kepada orang lain.
3. Berlebihan atau menggelembung, kata-kata
ini bersalah dari firman Allah SWT dalam QS. Al-Haj: 5 yang artinya kurang
lebih “Bumi jadi subur dan gembur.”
Adapun menurut istilah syara’ adalah
akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau
tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya. Adapun menurut istilah
syariat para fuqahâ sangat
beragam dalam mendefinisikannya, diantaranya yaitu :
1. Menurut
Al-Mali riba adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang
tidak diketahui tmbangannya menurut ukuran syara’ ketika berakad atau dengan
mengakhirkan tukarana kedua belah pihak atau salah satu keduanya.
2. Menurut Abdurrahman
Al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran
tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat
salah satunya.
3. Syaikh Muhammad Abduh
berendapat riba adalah penambahan-penambahan yang disayaratkan oleh orang yang
memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya karena pengunduran janji
pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
Dalam
Al-Qur’an dan hadits disebutkan :
A
Artinya : “Kemudian apabila kami turunkan air di
atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah.”Maknanya
disini adalah bergerak untuk tumbuh dan berkembang.
اَلذَّ
هَبُ بِا لذَّ هَبِ وَ زْ نًا بِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَاْلفِضَّةِ
بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ
مِثْلاًبِمِثْلٍ
فَمَنْ زَا دَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
Artinya: Rasulullah
saw. bersabda: “Emas dengan emas sama
timbangan dan ukurannya, perak dengan perak sama timbangan dan ukurannya.
Barang siapa yang meminta tambah maka termasuk riba.”
Dari
hadits tersebut dapat dipahami bahwa apabila tukar-menukar emas atau perak maka
harus sama ukuran dan timbangannya, jika tidak sama maka termasuk riba. Dari
situ dapat dipahami bahwa riba adalah ziyâdah atau tambahan.
Akan tetapi tidak semua tambahan adalah riba.Dalam istilah fiqh, riba
adalah pengambilan tambahan dari harta pokok secara bathil baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam meminjam.
B.
Hukum Riba
Riba
diharamkan oleh seluruh agama Samawi, dianggap membahayakan oleh agama Yahudi,
Nasrani dan Islam. Di dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa jika kamu mengqiradhkan harta kepada salah
seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang
mengutangkan; jangan kau meminta keuntungan untuk hartamu (ayat 25 pasal 22
kitab Keluaran). Jika saudaramu
membutuhkan sesuatu, maka tanggunglah. Jangan kau meminta darinya keuntungan
dan manfaat (ayat 35 pasal 25 Kitab Imamat).
Al-Qur’an
menyinggung masalah riba dalam berbagai tempat dan tersusun secara kronologis
berdasarkan urutan waktu. Pada periode Makkah, turun firman Allah SWT
artinya “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah. Maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Rum: 39).
Pada
periode Madinah, turun ayat yang mengharamkan riba secara jelas, yaitu
tercantum dalam QS. Ali-Imran ayat 130
artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.”
C.
Jenis-jenis riba
Riba dilihat dari asal transaksinya
dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu riba yang berasal dari transaksi
utang piutang dan jual beli
1. Riba dari utang piutang
Riba
ini terjadi disebabkan adanya transaksi utang piutang antara dua pihak. Riba
yang berasal dari utang piutang dibagi menjadi dua jenis yaitu riba qardh dan
riba jahiliyah
a.
Riba Qardh
Adalah
suatu tambahan atau kelebihan yang telah disyaratkan dalam perjanjian antara
pihak pemberi pinjaman Dan peminjam. Dalam perjanjian disebutkan bahwa pihak
pemberi pinjaman meminta adanya tambahan sejumlah tertentu kepada pihak
peminjam pada saat peminjm mengembalikan pinjamanya.
Misalnya, annisa
meminjam uang kepda antony Rp 10.000.000,- dalam waktu satu tahun. Dalam
perjanjian, Annisa harus mengembalikan Rp 11.000.000,- kepada Antony. Uang Rp
1.000.000,- yaitu selisih antara Rp 11.000.000,- dan Rp 10.000.000,- adalah
riba.
b.
Riba jahiliyah
Riba jahiliyah
merupakan riba yang timbul karena adanya keterlambatan pembayaran dari
sipeminjam sesuai dengan waktu pengembalian yang telah
ditentukan/diperjanjikan. Peminjam akan membayar dengan jumlah tertentu yang
jumlahnya melibihi jumlah uang yang telah dipinjamnya apabila peminjam tidak
mampu membayar pinjamanya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan.
Kelebihan atas pokok pinjaman ini ditulis dengan perjanjian sehingga mengikat
pada pihak peminjam. Misalnya, annisa meminjam uang Rp 10.000.000,- kepada
Antony dengan jangka waktu pengembalian satu bulan.
Dalam
perjanjian disebuttkan bila Annisa tidak dapat mengembalikan pinjamanya dalam
satu bulan, maka setiap bulan keterlambatan pembayaranya dikenakan tambahan 2% dari
pokok pinjamanya. Dalam contoh ini misialnya Annisa melunasi pinjamanya pada
bulan kedua, maka Annisa akan membayar sebesar Rp 10.200.000,- (102% x Rp
10.000.000,-). Kelebihan pembayaran dari pokok pinjaman sebesar Rp 200.000,-
adalah riba.
2. Riba dari transaksi jual beli
a.
Riba fadhl
Riba
fadhl disebut juga riba buyu yaitu yang timbul akibat pertukaran barang sejenis
yang tidak memenuhi criteria sama kualitasnya , sama kuantitasnya, dan waktu
penyerahanya. Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan
bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan.
Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan zalim terhadap salah satu pihak, kedua
pihak, dan pihak-pihak lain. Contoh berikut ini akan menjelaskan adanya gharar.
Ketika kaum yahudi kalah dalam perang khaibar, maka harta mereka diambil
sebagai rampasan perang (ghanimah) termasuk diantaranya adalah perhiasan yang
terbuat dari emas dan perak. Tentu saja perhiasan tersebut bukan gaya hidup
kaum muslimin yang sederhana. Oleh karena itu, orang yahudi berusaha membeli
perhiasanya yang terbuat dari emas tersebut, yang akan dibayar dengan uang yang
terbuat dari emas (dinar) dan uang yang terbuat dari perak (dirham). Jadi
sebenarnya yang akan terjadi bukanlah jual beli, namun pertukaran barang yang
sejenis. Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak. Perhiasan perak
dengan berat yang setara dengan 40 dirham (satu uqiyah) dijual oleh kaum
muslimin kepada kaum yahudi seharga dua atau tiga dirham, padahal nilai
perhiasan perak seberat satu uqiyah jauh lebih tinggi daripada sekedar 2-3
dirham. Jadi muncul ketidakjelasan (gharar) akan nilai perhiasan perak dan
nilai uang perak (dirham).
Mendengar hal tersebut rasullah SAW mencegahnya dan
bersabda :
“
transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan, dan tangan
ke tangan (tunai), kelebihanya adalah riba. Perak dan perak harus sama takaran
dan timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihanya adalah riba. Tepung
dengan tepung harus sama takaranya,
timbangan dan tangan ke tangan (tunai) , kelebihanya adalah riba. Korma dengan
korma harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai) ,
kelebihanya adalah riba. Garam dengan
garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan(tunai) kelebihanya
adalah riba.( HR Muslim).
Diluar keenam jenis
barang ini dibolehkan asalkan dilakukan penyerahanya pada saat yang sama.
Rasullah SAW bersabda :
“jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar,
satu dirham dengan dua dirham, satu sha dengan dua sha, karena aku khawatir
akan terjadinya riba. Seorang bertanya, “wahai rasulullah, bagaimana jika
seseorang menjual seekor kuda dengan beberapaa ekor kuda dan seekor unta dengan
beberapa ekor unta?” jawab Nabi SAW, “tidak mengapa, asal dilakukan dengan
tangan ke tangan (laangsung).” (HR. Ahmad dan Thabrani)
b.
Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah disebut
juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutang-piutang yang tidak
memenuhi criteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurni) dan hasil
usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi dhaman). Transaksi semisal ini
mengandung pertukaran kewajiiban menanggung beban, hanya karena berjalananya
waktu. Nasi’ah adalah penangguhan penyerhan atau penerimaan jenis barang riba
yang dipertukarkan dengan jenis barang riba lainya. Riba nasi’ah muncul karena
barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian.
Jadi alghunmu (untung) muncul tanpa adanya resiko (al
ghurmi), hasil usaha (al-kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmu
dan al kharaj muncul hanya dengan berjalanya waktu. Padahal dalam bisnis selalu
ada kemungkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang diluar wewenang
manusia adalah bentuk kezaliman.
D.
Sebab-Sebab Riba Diharamkan
Ada
beberapa alasan mengapa Islam melarang keras riba dalam perekonomian, antara
lain :
1)
Bahwa
kehormatan harta manusia sama dengan kehormatan darahnya. Oleh karena itu,
mengambil harta kawannya tanpa ganti sudah pasti haram.
2)
Riba
menghendaki penngambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya, seperti
seseorang menukarkan uang kertas Rp. 1.000,00 dengan uang recehan senilai Rp.
950,00. Maka uang senilai Rp. 50,00 tidak ada imbangannya, sehingga uang
senilai Rp. 50,00 tersebut adalah riba.
3)
Dengan
melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’.
Jika riba sudah mendarah daging pada seseorang, orang tersebut lebih suka
beternak uang karena ternak uang akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari
pada daging dan dikerjakan tidak dengan susah payah. Seperti orang yang
memiliki uang Rp. 1.000.000.000,00 cukup disimpan di bank dan ia memperoleh
bunga sebesar 2% tiap bulan, maka orang tersebut memperoleh uag tanpa kerja
keras setiap bulan dari bank tempat uang disimpan sebesar Rp. 20.000.000,00.
4)
Riba
menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang
oiutang atau menghilangkan manfaat utang piutang sehingga riba lebih cenderung
memeras orang miskin dari pada menolong orang miskin.
Sedangkan
sebab-sebab riba diharamkan menurut firman Allah SWT dan Rasul-Nya antara lain
:
1)
QS.
Al-Baqarah: 275 “Allah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.”
2)
QS.
Al-Nisa: 161 “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan harta riba secara berlipat ganda dan takutlah
kepada Allah mudah-mudahan kamu menang.”
3)
QS.
Al-Baqarah: 276 “Allah menghapuskan
berkah harta riba dan menyuburkan harta sedekah.”
4)
QS.
Al-Baqarah: 278 “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah keada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
5)
QS.
Al-Rum: 39 “Dan sesuatu riba (tambahan)
yang kamu berikan, gar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
akan menambah di sisi Allah.”
6)
Rasulullah
SAW bersabda “Satu dirham uang riba yang
dimakan seseorang, sedangkan orang tersebut mengetahuinya dosa perbuatan
tersebut lebih berat dari pada dosa tiga puluh enam kali zina.” (Riwayat
Ahmad)
7)
Rasulullah
SAW bersabda “Riba memiliki enam
puluh dua pintu dosa, dosa yang paling
ringan dari riba ialah seperti dosa anak yang berzina dengan ibunya.”
(Riwayat Ibnu Jarir)
8)
Rasulullah
SAW bersabda “Rasulullah SAW meletakkan
pemakan riba, dua saksinya, dua penulisnya, jika mereka tahu yang demikian,
mereka dilaknat lidah Muhammad SAW pada hari kiamat.” (Riwayat Nasai)
9)
Rasulullah
SAW bersabda “Emas dengan emas sama berat
sebanding dan perak dengan perak sama berat dan sebanding.” (Riwayat Ahmad)
10)
Rasulullah
SAW bersabda “Makanan dengan makanan yang
sebanding.” (Riwayat Ahmad)
11)
Rasulullah
SAW bersabda “Ibnu Abbas berkata: tak ada
riba sesuatu yang dibayar tunai.” (Riwayat Ahmad)
12)
Rasulullah
SAW bersabda “Tak ada riba kecuali pada
pinjaman (nasi’ah).” (Riwayat Al-Bukhari)
E.
Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Hadits
Larangan
riba muncul dalam Al-Qur’an pada empat kali penurunan wahyu yang berbeda-beda:
1. QS. Ar-Ruum : 39
H””Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian) tulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya). ”Ayat ini diturunkan di Makkah,
menegaskan bahwa riba akan menjauhkan keberkahan Allah dalam kekayaan,
sedangkan sedekah akan meningkatkannya berlipat ganda.
2. QS. An-Nisa : 161
“Dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripdanya,dan
karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
”Ayat ini diturunkan pada masa permulaan periode Madinah,
mengutuk dengan keras praktik riba. Pada ayat kedua ini, Al-Qur’an
menyejajarkan orang yang mengambl riba dengan orang yang mengambil kekayaan
orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua pihak dengan siksa Allah yang
sangat pedih.
3. QS. Ali Imran : 130
“Hai
orang-orang yang beriman,janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”Kurang
lebih ayat ini diturunkan kurang lebih tauk kedua atau ketiga Hijrah,
menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka menghendaki
kesejahteraan yang diinginkan.
4.
QS.
Al-Baqarah : 275-280
“275. Orang-orang yang makan dan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,kemudian berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu, (sebelum datang
larangan); dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang kembali( mengambil
riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
“276.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
“277.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
“278.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
“279.
Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
“280.
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah kelapangan
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”Ayat
ini diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullh saw., mengutuk keras mereka
yang mengambil riba, menjelaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan
riba, dan menurut kaum muslimin agar menghapuskan seluruh utang-piutang yang
mengandung riba, Menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan
mengikhlasan kepada peminjam yang mengalami kesulitan.
Adapun
larangan riba dalam hadits :
اجْتَنِبُوا
السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ
الرِّبَا
“Jauhilah tujuh perkara
yang menghancurkan –di antaranya– memakanriba.”
ءعَلَيْهِوَسَلَّمَآكِلَالرِّباَوَمُوْكِلَهُوَكَاتِبَهُوَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْسَوَالَعَنَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُ
“Rasulullah saw
melaknat orang memakanriba, yang memberimakanriba, penulisnya, dandua orang
saksinya. Beliabersabda; Merekasemuasama”.
F.
Cara Menghindari Riba dalam Ekonomi Islam
Pandangan
tentang riba dalam era kemajuan zaman kini juga mendorong maraknya perbankan
syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung di dapat dari sistem bagi hasil
bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional pada umumnya. Karena, menurut
sebagian pendapat bunga bank termasuk riba. Hal yang sangat mencolok dapat
diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal
jadi ketika nasabah sudah menginvestasikan uangnya pada bank dengan tingkat
suku bunga tertentu, maka akan dapat diketahui hasilnya dengan pasti. Berbeda
dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil untuk
deposannya.
Sebagai
pengganti bunga bank, perbankan syariah menggunakan berbagai cara yang bersih
dari unsur riba antara lain :
1)
Wadi’ah
atau titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito.
2)
Mudharabah
adalah kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksanaan atas dasar perjanjian
profit and loss sharing.
3)
Musyarakah
(syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah bentuk umum dari usaha
bagi hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen
usaha,dengan proporsi bisa sama atau tidak.
4)
Murabahah
adalah perjanjian jual beli antara bank dan nasabah.
Selain
cara-cara yang telah diterapkan pada bank syari’ah,riba juga dapat dihindari
dengan cara berpuasa. Mengapa demikian? Karena seseorang yang berpuasa secara
benar pasti terpanggil untuk hijrah dari sistem ekonomi yang penuh dengan riba
ke sistem ekonomi syari’ah yang penuh ridho Allah. Puasa bertujuan untuk
mewujudkan manusia yang takwa kepada Allah SWT dimana mereka yang bertakwa bukan
hanya mereka yang rajin sholat, zakat atau haji, tapi juga mereka yang
meninggalkan larangan Allah SWT.
Puasa
bukan saja membina dan mendidik kita agar semakin taat beribadah, namun juga
agar akhlak kita semakin baik. Seperti dalam muamalah akhlak mengajarkan agar
kita dalam kegiatan bisnis menghindari judi, penipuan, dan riba. Sangat aneh
bila ada orang yang berpuasa dengan taat dan bersungguh-sungguh namun masih
mempraktekkan riba. Sebagai orang yang beriman yang telah melaksanakan puasa,
tentunya orang itu akan meyakini dengan sesungguhnya bahwa Islam adalah agama
yang mengatur segala aspek kehidupan (komprehensif) manusia, termasuk masalah
perekonomian. Umat Islam harus masuk kedalam Islam secara utuh dan menyeluruh
dan tidak sepotong-potong. Inilah yang dititihkan Allah pada QS. Al-Baqarah:
208 “Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu kedalam Islam secara kaffah (utuh dan totalitas) dan jangan kamu
ikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh nyata bagimu.”
Ayat
ini mewajibkan orang beriman untuk masuk kedalam Islam. Totalitas baik dalam
ibadah maupun ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Pada masalah
ekonomi, masih banyak kaum muslim yang melanggar prinsip Islam yaitu ajaran
ekonomi Islam. Ekonomi Islam didasarkan pada prinsip Syari’ah yang digali dari
Al-Qur’an dan sunnah. Dalam kitab Fiqh pun sangat banyak ditemukan
ajaran-ajaran muamalah Islam antara lain, mudharabah, murabahah, wadi’ah, dan
sebagainya.
G.
Dampak Riba pada Ekonomi
Sekarang
ini masalah riba sudah mengalami perubahan, orang yang dipinjamkan merupakan
asas pengembangan harta pada perusahaan-perusahaan. Ini berarti memutuskan
harta pada penguasaan para hartawan, padahal mereka hanya merupakan sebagian
kecil dari seluruh anggota masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil
produksi juga kecil. Pada waktu yang bersamaan, pendapatan kaum buruh yang
berupa upah atau yang lainnya juga kecil. Sehingga mengakibatkan daya beli
kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.
Hal
ini merupakan masalah penting dalam ekonomi, yaitu proses yang terjadi dalam
siklus-siklus ekonomi. Hal ini berulang kali terjadi, karenanya siklus ekonomi
yang terjadi berulang-ulang disebut krisis ekonomi. Para ahli ekonomi
berpendapat, bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai
peminjaman modal atau dengan singkat biasa disebut dengan riba. Riba dapat
menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat
lemah, sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun akibatnya
perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga
kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dan mengakibatkan
menambahnya jumlah pengangguran.
Lord
Keynes pernah mengelub di hadapan Majelis Tinggi (House of Lord) Inggris tentang bunga yang diambil oleh pemerintah
Amerika. Hal ini menunjukkan, bahwa negara besar pun seperti Inggris terkena
musibah dari bunga pinjaman Amerika, bunga tersebut menurut fuqaha disebut riba. Dengan demikian,
riba dapat meretakkan hubungan, baik hubungan antara orang-perorang maupun
hubungan antar negara, seperti Inggris dan Amerika.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian tentang riba diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1.
Riba
adalah tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad
dalam tukar menukar antara harta dengan harta.
2.
Riba
dalam perbankan syariah dapat diganti dengan unsur yang bersih dari riba,
antara lain :
a)
Wadi’ah
b)
Mudharabah
c)
Musyarakah
d)
Murabahah
3.
Riba
juga dapat dihindari dengan kita berpuasa.
B.
Saran
Supaya
kita menjadi umat Islam yang berpegang teguh pada syariat Islam, kita sebaiknya
dapat menahan diri dan menjauhi segala larangan Allah SWT. Dengan memperkuat
iman kita kepada Allah SWT, kita lebih dapat mengendalikan diri terhadap segala
godaan-godaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba,
Utang-Piutang, Gadai, (Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1983), hlm. 6.
Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah, alih Bahasa
Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), hlm. 117.
Sahrani
Sohari, Abdullah Ru’fah, Fikih Muamalah
Cet. I, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 58.
Muhammad bin Muhammad AbiSyahbah, Hulûl
li Musykilât al-Ribâ, (Kairo:Maktabah al-Sunnah,1996/1416), hlm. 40
Ismail,PERBANKAN
SYARIAH, (Jakarta :Kencana Prenadamedia Group,2011), hlm.11
Buchari
Alma, Donni Juni Priansa, Manajemen
Bisnis Syariah, (Bandung :Alfabeta,CV,2009), hlm.275
Drs.
Ismail, MBA., Ak, PERBANKAN SYARIAH, (Jakarta :Kencana Prenadamedia Group,
2011), hlm.11
Prof.DR.H.Buchari Alma, Donni
Juni Priansa, S.pd,
Manajemen Bisnis Syariah,
(Bandung
:Alfabeta,CV,2009), hlm.275