Selasa, 26 Januari 2016

contoh makalah pelarangan riba dalam islam

makalah tentang pelarangan riba dalam islam hampir semuanya tercantum pada makalah ini ,,,







BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Muamalah ribawiyah sesungguhnya telah dikenal di kalangan bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Mesir kuno, bangsa Yunani, bangsa Romawi dan bangsa Yahudi. Di kalangan bangsa Mesir kuno, terdapat dalam Undang-Undang Raja Bukhares, keluarga ke-24 dari raja-raja zaman Fir’aun, yang menentukan bahwa besarnya riba tidak boleh melebihi besarnya pokok harta yang dipinjamkan, bagaimanapun panjangnya jangka waktu pinjaman.
Di kalangan bangsa-bangsa Yunani dan Romawi, riba merupakan kebiasaan yang merata, dan besarnya tidak terbatas, tergantung kepada keinginan orang yang meminjamkan uang. Bahkan, di kalangan bangsa Romawi, orang yang meminjamkan uang berhak memperbudak orang yang berutang, bila ia tidak dapat memenuhi utangnya. Tetapi, kebiasaan tersebut kemudian dibatalkan oleh Undang-Undang Solon yang membatasi besarnya riba maksimum 12% dari pokok utang. Raja Justinian memberikan batas maksimum besarnya riba sekitar 12% untuk para pedagang dan sesamanya, sedang bagi para bangsawan hanya 4%. Filsuf-filsuf Yunani yang menentang riba ialah Plato dan Aristoteles.[1]
Di kalangan bangsa Yahudi, terdapat syariat Nabi Musa as yang melarang mereka memungut riba atas piutang yang mereka berikan kepada orang-orang miskin. Larangan tersebut berlaku juga bila mereka memberikan pinjaman kepada orang-orang tidak sebangsa. Tetapi, ketentuan ini kemudian mereka ubah, larangan memungut riba hanya mereka laksanakan di kalangan sesama bangsa Yahudi; bila terdapat orang-orang miskin yang memerlukan pertolongan pinjaman uang harus mereka berikan, guna melonggarkan kesempitan-kesempitan hidup yang dialami oleh saudaranya sesama bangsa Yahudi. Dalam sejarah berikutnya, setelah perdagangan makin meluas, pasaran mereka pun ramai, maka berlakulah kebiasaan utang-piutang dengan memakai riba dan jaminan barang (gadai).

B.            Rumusan Masalah
a)             Jelaskan definisi dari riba?
b)             Jelaskan hukum riba dalam Islam?
c)             Apa saja penyebab haramnya riba?
d)            Sebutkan dan jelaskan macam-macam riba?
e)             Bagaimana cara menghidari riba?
f)              Apa saja dampak riba terhadap ekonomi?

C.           Tujuan
a)             Untuk mengetahui pengertian riba.
b)             Untuk mengetahui hukum riba dalam pandangan agama Islam.
c)             Untuk mengetahui hal-hal yang membuat haramnya riba.
d)            Untuk mengetahui macam-macam riba.
e)             Untuk mengetahui cara yang harus dilakukan untuk menghindari riba.
f)              Untuk mengetahui dampak riba terhadap ekonomi.








BAB II
PEMBAHASAN

A.           Definisi Riba
Secara etimologis (bahasa), riba berarti tambahan (ziyâdah) atau berarti tumbuh dan membesar.[2] Secara bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu sebagai berikut :
1.      Tambahan, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dituangkan. Tambahan disini ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit maupun banyak.[3]
2.      Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3.      Berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini bersalah dari firman Allah SWT dalam QS. Al-Haj: 5 yang artinya kurang lebih “Bumi jadi subur dan gembur.”
Adapun menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya. Adapun menurut istilah syariat para fuqahâ sangat beragam dalam mendefinisikannya, diantaranya yaitu :
1.       Menurut Al-Mali riba adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui tmbangannya menurut ukuran syara’ ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukarana kedua belah pihak atau salah satu keduanya.
2.       Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya.
3.       Syaikh Muhammad Abduh berendapat riba adalah penambahan-penambahan yang disayaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
Dalam Al-Qur’an dan hadits disebutkan :
A
Artinya : “Kemudian apabila kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.”[4]Maknanya disini adalah bergerak untuk tumbuh dan berkembang.

اَلذَّ هَبُ بِا لذَّ هَبِ وَ زْ نًا بِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَاْلفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ
مِثْلاًبِمِثْلٍ فَمَنْ زَا دَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
Artinya: Rasulullah saw. bersabda: “Emas dengan emas sama timbangan dan ukurannya, perak dengan perak sama timbangan dan ukurannya. Barang siapa yang meminta tambah maka termasuk riba.”[5]
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa apabila tukar-menukar emas atau perak maka harus sama ukuran dan timbangannya, jika tidak sama maka termasuk riba. Dari situ dapat dipahami bahwa riba adalah ziyâdah atau tambahan. Akan tetapi tidak semua tambahan adalah riba.Dalam istilah fiqh, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok secara bathil baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam.

B.            Hukum Riba
Riba diharamkan oleh seluruh agama Samawi, dianggap membahayakan oleh agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Di dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa jika kamu mengqiradhkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang mengutangkan; jangan kau meminta keuntungan untuk hartamu (ayat 25 pasal 22 kitab Keluaran). Jika saudaramu membutuhkan sesuatu, maka tanggunglah. Jangan kau meminta darinya keuntungan dan manfaat (ayat 35 pasal 25 Kitab Imamat).

Al-Qur’an menyinggung masalah riba dalam berbagai tempat dan tersusun secara kronologis berdasarkan urutan waktu. Pada periode Makkah, turun firman Allah SWT
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaKwOWYYvL69BbfNjPGeHhrkmW0kjgUV49XacyEjs1uKJzPrl3scKWknOqY_cPzovoYqIBwxph-tqoDDYq1ljC2EX7ZKXVdWb6mkOa_wjkUWpAxVTGz1b2nQUmXX9v4zlzsDS17EnPNHI/s1600/16.QS.30.39.jpg
artinya “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah. Maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Rum: 39).

Pada periode Madinah, turun ayat yang mengharamkan riba secara jelas, yaitu tercantum dalam QS. Ali-Imran ayat 130
3:130
artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

C.    Jenis-jenis riba
Riba dilihat dari asal transaksinya dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu riba yang berasal dari transaksi utang piutang dan jual beli
1.      Riba dari utang piutang
Riba ini terjadi disebabkan adanya transaksi utang piutang antara dua pihak. Riba yang berasal dari utang piutang dibagi menjadi dua jenis yaitu riba qardh dan riba jahiliyah
a.      Riba Qardh
Adalah suatu tambahan atau kelebihan yang telah disyaratkan dalam perjanjian antara pihak pemberi pinjaman Dan peminjam. Dalam perjanjian disebutkan bahwa pihak pemberi pinjaman meminta adanya tambahan sejumlah tertentu kepada pihak peminjam pada saat peminjm mengembalikan pinjamanya.
Misalnya, annisa meminjam uang kepda antony Rp 10.000.000,- dalam waktu satu tahun. Dalam perjanjian, Annisa harus mengembalikan Rp 11.000.000,- kepada Antony. Uang Rp 1.000.000,- yaitu selisih antara Rp 11.000.000,- dan Rp 10.000.000,- adalah riba.
b.      Riba jahiliyah
Riba jahiliyah merupakan riba yang timbul karena adanya keterlambatan pembayaran dari sipeminjam sesuai dengan waktu pengembalian yang telah ditentukan/diperjanjikan. Peminjam akan membayar dengan jumlah tertentu yang jumlahnya melibihi jumlah uang yang telah dipinjamnya apabila peminjam tidak mampu membayar pinjamanya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. Kelebihan atas pokok pinjaman ini ditulis dengan perjanjian sehingga mengikat pada pihak peminjam. Misalnya, annisa meminjam uang Rp 10.000.000,- kepada Antony dengan jangka waktu pengembalian satu bulan.
Dalam perjanjian disebuttkan bila Annisa tidak dapat mengembalikan pinjamanya dalam satu bulan, maka setiap bulan keterlambatan pembayaranya dikenakan tambahan 2% dari pokok pinjamanya. Dalam contoh ini misialnya Annisa melunasi pinjamanya pada bulan kedua, maka Annisa akan membayar sebesar Rp 10.200.000,- (102% x Rp 10.000.000,-). Kelebihan pembayaran dari pokok pinjaman sebesar Rp 200.000,- adalah riba.
2.      Riba dari transaksi jual beli
a.      Riba fadhl
Riba fadhl disebut juga riba buyu yaitu yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi criteria sama kualitasnya , sama kuantitasnya, dan waktu penyerahanya. Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain. Contoh berikut ini akan menjelaskan adanya gharar. Ketika kaum yahudi kalah dalam perang khaibar, maka harta mereka diambil sebagai rampasan perang (ghanimah) termasuk diantaranya adalah perhiasan yang terbuat dari emas dan perak. Tentu saja perhiasan tersebut bukan gaya hidup kaum muslimin yang sederhana. Oleh karena itu, orang yahudi berusaha membeli perhiasanya yang terbuat dari emas tersebut, yang akan dibayar dengan uang yang terbuat dari emas (dinar) dan uang yang terbuat dari perak (dirham). Jadi sebenarnya yang akan terjadi bukanlah jual beli, namun pertukaran barang yang sejenis. Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak. Perhiasan perak dengan berat yang setara dengan 40 dirham (satu uqiyah) dijual oleh kaum muslimin kepada kaum yahudi seharga dua atau tiga dirham, padahal nilai perhiasan perak seberat satu uqiyah jauh lebih tinggi daripada sekedar 2-3 dirham. Jadi muncul ketidakjelasan (gharar) akan nilai perhiasan perak dan nilai uang perak (dirham).
            Mendengar hal tersebut rasullah SAW mencegahnya dan bersabda :
“ transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihanya adalah riba. Perak dan perak harus sama takaran dan timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihanya adalah riba. Tepung dengan tepung harus sama  takaranya, timbangan dan tangan ke tangan (tunai) , kelebihanya adalah riba. Korma dengan korma harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai) , kelebihanya  adalah riba. Garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan(tunai) kelebihanya adalah riba.( HR Muslim).
Diluar keenam jenis barang ini dibolehkan asalkan dilakukan penyerahanya pada saat yang sama. Rasullah SAW bersabda :
            “jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan dua dirham, satu sha dengan dua sha, karena aku khawatir akan terjadinya riba. Seorang bertanya, “wahai rasulullah, bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapaa ekor kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor unta?” jawab Nabi SAW, “tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (laangsung).” (HR. Ahmad dan Thabrani)[6]
b.      Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah disebut juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutang-piutang yang tidak memenuhi criteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurni) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiiban menanggung beban, hanya karena berjalananya waktu. Nasi’ah adalah penangguhan penyerhan atau penerimaan jenis barang riba yang dipertukarkan dengan jenis barang riba lainya. Riba nasi’ah muncul karena barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian.
            Jadi alghunmu (untung) muncul tanpa adanya resiko (al ghurmi), hasil usaha (al-kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmu dan al kharaj muncul hanya dengan berjalanya waktu. Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang diluar wewenang manusia adalah bentuk kezaliman.[7]

D.           Sebab-Sebab Riba Diharamkan
Ada beberapa alasan mengapa Islam melarang keras riba dalam perekonomian, antara lain :
1)             Bahwa kehormatan harta manusia sama dengan kehormatan darahnya. Oleh karena itu, mengambil harta kawannya tanpa ganti sudah pasti haram.
2)             Riba menghendaki penngambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya, seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp. 1.000,00 dengan uang recehan senilai Rp. 950,00. Maka uang senilai Rp. 50,00 tidak ada imbangannya, sehingga uang senilai Rp. 50,00 tersebut adalah riba.
3)             Dengan melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’. Jika riba sudah mendarah daging pada seseorang, orang tersebut lebih suka beternak uang karena ternak uang akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pada daging dan dikerjakan tidak dengan susah payah. Seperti orang yang memiliki uang Rp. 1.000.000.000,00 cukup disimpan di bank dan ia memperoleh bunga sebesar 2% tiap bulan, maka orang tersebut memperoleh uag tanpa kerja keras setiap bulan dari bank tempat uang disimpan sebesar Rp. 20.000.000,00.
4)             Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang oiutang atau menghilangkan manfaat utang piutang sehingga riba lebih cenderung memeras orang miskin dari pada menolong orang miskin.[8]
Sedangkan sebab-sebab riba diharamkan menurut firman Allah SWT dan Rasul-Nya antara lain :
1)             QS. Al-Baqarah: 275 “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
2)             QS. Al-Nisa: 161 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta riba secara berlipat ganda dan takutlah kepada Allah mudah-mudahan kamu menang.”
3)             QS. Al-Baqarah: 276 “Allah menghapuskan berkah harta riba dan menyuburkan harta sedekah.”
4)             QS. Al-Baqarah: 278 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah keada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
5)             QS. Al-Rum: 39 “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan, gar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak akan menambah di sisi Allah.”
6)             Rasulullah SAW bersabda “Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang, sedangkan orang tersebut mengetahuinya dosa perbuatan tersebut lebih berat dari pada dosa tiga puluh enam kali zina.” (Riwayat Ahmad)
7)             Rasulullah SAW bersabda “Riba memiliki enam puluh  dua pintu dosa, dosa yang paling ringan dari riba ialah seperti dosa anak yang berzina dengan ibunya.” (Riwayat Ibnu Jarir)
8)             Rasulullah SAW bersabda “Rasulullah SAW meletakkan pemakan riba, dua saksinya, dua penulisnya, jika mereka tahu yang demikian, mereka dilaknat lidah Muhammad SAW pada hari kiamat.” (Riwayat Nasai)
9)             Rasulullah SAW bersabda “Emas dengan emas sama berat sebanding dan perak dengan perak sama berat dan sebanding.” (Riwayat Ahmad)
10)         Rasulullah SAW bersabda “Makanan dengan makanan yang sebanding.” (Riwayat Ahmad)
11)         Rasulullah SAW bersabda “Ibnu Abbas berkata: tak ada riba sesuatu yang dibayar tunai.” (Riwayat Ahmad)
12)         Rasulullah SAW bersabda “Tak ada riba kecuali pada pinjaman (nasi’ah).” (Riwayat Al-Bukhari)

E.     Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Hadits
Larangan riba muncul dalam Al-Qur’an pada empat kali penurunan wahyu yang berbeda-beda:
1.      QS. Ar-Ruum : 39

H””Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian) tulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). ”Ayat ini diturunkan di Makkah, menegaskan bahwa riba akan menjauhkan keberkahan Allah dalam kekayaan, sedangkan sedekah akan meningkatkannya berlipat ganda.
2.      QS. An-Nisa : 161
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripdanya,dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. ”Ayat ini diturunkan pada masa permulaan periode Madinah, mengutuk dengan keras praktik riba. Pada ayat kedua ini, Al-Qur’an menyejajarkan orang yang mengambl riba dengan orang yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua pihak dengan siksa Allah yang sangat pedih.
3.      QS. Ali Imran : 130

“Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[9], dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”Kurang lebih ayat ini diturunkan kurang lebih tauk kedua atau ketiga Hijrah, menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan yang diinginkan.
4.      QS. Al-Baqarah : 275-280



275. Orang-orang yang makan dan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,kemudian berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu, (sebelum datang larangan); dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang kembali( mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
“276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
“277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
“278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
“279. Maka  jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
“280. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah kelapangan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”Ayat ini diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullh saw., mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menjelaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menurut kaum muslimin agar menghapuskan seluruh utang-piutang yang mengandung riba, Menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan mengikhlasan kepada peminjam yang mengalami kesulitan.
Adapun larangan riba dalam hadits :
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan –di antaranya– memakanriba.”[10]
ءعَلَيْهِوَسَلَّمَآكِلَالرِّباَوَمُوْكِلَهُوَكَاتِبَهُوَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْسَوَالَعَنَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُ
“Rasulullah saw melaknat orang memakanriba, yang memberimakanriba, penulisnya, dandua orang saksinya. Beliabersabda; Merekasemuasama”.[11]

F.            Cara Menghindari Riba dalam Ekonomi Islam
Pandangan tentang riba dalam era kemajuan zaman kini juga mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung di dapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional pada umumnya. Karena, menurut sebagian pendapat bunga bank termasuk riba. Hal yang sangat mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal jadi ketika nasabah sudah menginvestasikan uangnya pada bank dengan tingkat suku bunga tertentu, maka akan dapat diketahui hasilnya dengan pasti. Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil untuk deposannya.

Sebagai pengganti bunga bank, perbankan syariah menggunakan berbagai cara yang bersih dari unsur riba antara lain :
1)             Wadi’ah atau titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito.
2)             Mudharabah adalah kerja sama antara pemilik modal dengan pelaksanaan atas dasar perjanjian profit and loss sharing.
3)             Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha,dengan proporsi bisa sama atau tidak.
4)             Murabahah adalah perjanjian jual beli antara bank dan nasabah.

Selain cara-cara yang telah diterapkan pada bank syari’ah,riba juga dapat dihindari dengan cara berpuasa. Mengapa demikian? Karena seseorang yang berpuasa secara benar pasti terpanggil untuk hijrah dari sistem ekonomi yang penuh dengan riba ke sistem ekonomi syari’ah yang penuh ridho Allah. Puasa bertujuan untuk mewujudkan manusia yang takwa kepada Allah SWT dimana mereka yang bertakwa bukan hanya mereka yang rajin sholat, zakat atau haji, tapi juga mereka yang meninggalkan larangan Allah SWT.
Puasa bukan saja membina dan mendidik kita agar semakin taat beribadah, namun juga agar akhlak kita semakin baik. Seperti dalam muamalah akhlak mengajarkan agar kita dalam kegiatan bisnis menghindari judi, penipuan, dan riba. Sangat aneh bila ada orang yang berpuasa dengan taat dan bersungguh-sungguh namun masih mempraktekkan riba. Sebagai orang yang beriman yang telah melaksanakan puasa, tentunya orang itu akan meyakini dengan sesungguhnya bahwa Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan (komprehensif) manusia, termasuk masalah perekonomian. Umat Islam harus masuk kedalam Islam secara utuh dan menyeluruh dan tidak sepotong-potong. Inilah yang dititihkan Allah pada QS. Al-Baqarah: 208 “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara kaffah (utuh dan totalitas) dan jangan kamu ikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh nyata bagimu.”

Ayat ini mewajibkan orang beriman untuk masuk kedalam Islam. Totalitas baik dalam ibadah maupun ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Pada masalah ekonomi, masih banyak kaum muslim yang melanggar prinsip Islam yaitu ajaran ekonomi Islam. Ekonomi Islam didasarkan pada prinsip Syari’ah yang digali dari Al-Qur’an dan sunnah. Dalam kitab Fiqh pun sangat banyak ditemukan ajaran-ajaran muamalah Islam antara lain, mudharabah, murabahah, wadi’ah, dan sebagainya.

G.           Dampak Riba pada Ekonomi
Sekarang ini masalah riba sudah mengalami perubahan, orang yang dipinjamkan merupakan asas pengembangan harta pada perusahaan-perusahaan. Ini berarti memutuskan harta pada penguasaan para hartawan, padahal mereka hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh anggota masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil produksi juga kecil. Pada waktu yang bersamaan, pendapatan kaum buruh yang berupa upah atau yang lainnya juga kecil. Sehingga mengakibatkan daya beli kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.
Hal ini merupakan masalah penting dalam ekonomi, yaitu proses yang terjadi dalam siklus-siklus ekonomi. Hal ini berulang kali terjadi, karenanya siklus ekonomi yang terjadi berulang-ulang disebut krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat, bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai peminjaman modal atau dengan singkat biasa disebut dengan riba. Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah, sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dan mengakibatkan menambahnya jumlah pengangguran.

Lord Keynes pernah mengelub di hadapan Majelis Tinggi (House of Lord) Inggris tentang bunga yang diambil oleh pemerintah Amerika. Hal ini menunjukkan, bahwa negara besar pun seperti Inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika, bunga tersebut menurut fuqaha disebut riba. Dengan demikian, riba dapat meretakkan hubungan, baik hubungan antara orang-perorang maupun hubungan antar negara, seperti Inggris dan Amerika.














BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang riba diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1.             Riba adalah tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta.
2.             Riba dalam perbankan syariah dapat diganti dengan unsur yang bersih dari riba, antara lain :
a)             Wadi’ah
b)            Mudharabah
c)             Musyarakah
d)            Murabahah
3.             Riba juga dapat dihindari dengan kita berpuasa.

B.            Saran
Supaya kita menjadi umat Islam yang berpegang teguh pada syariat Islam, kita sebaiknya dapat menahan diri dan menjauhi segala larangan Allah SWT. Dengan memperkuat iman kita kepada Allah SWT, kita lebih dapat mengendalikan diri terhadap segala godaan-godaan.











DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang, Gadai, (Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1983), hlm. 6.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih Bahasa Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), hlm. 117.
Sahrani Sohari, Abdullah Ru’fah, Fikih Muamalah Cet. I, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 58.
Muhammad bin Muhammad AbiSyahbah, Hulûl li Musykilât al-Ribâ, (Kairo:Maktabah al-Sunnah,1996/1416), hlm. 40
Ismail,PERBANKAN SYARIAH, (Jakarta :Kencana Prenadamedia Group,2011), hlm.11
Buchari Alma,  Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah, (Bandung :Alfabeta,CV,2009), hlm.275



[1]           Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang, Gadai, (Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1983), hlm. 6.
[2]               Muhammad bin Muhammad AbiSyahbah, Hulûl li Musykilât al-Ribâ, (Kairo:Maktabah al-Sunnah,1996/1416), hlm. 40.
[3]           Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih Bahasa Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), hlm. 117.
[4]Lihat QS. Al-Hajj : 5
[5] HR. Muslim
[6] Drs. Ismail, MBA., Ak, PERBANKAN SYARIAH, (Jakarta :Kencana Prenadamedia Group,
2011), hlm.11


[7]Prof.DR.H.Buchari Alma,  Donni Juni Priansa, S.pd, Manajemen Bisnis Syariah, (Bandung :Alfabeta,CV,2009), hlm.275


[8]           Sahrani Sohari, Abdullah Ru’fah, Fikih Muamalah Cet. I, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 58.
[9]Lihatselanjutnya QS. Al-Baqarah : 275.
[10] HR. Bukhori
[11] HR. Muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKALAH

MATERIAL HANDLING

MATERIAL HANDLING DAN TIPE TIEP LAYOUT SERTA PENENTUAN LAYOUT SECARA MAKSIMAL  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah M...